Aqiqah merupakan salah satu ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Begitu pentingnya ibadah ini sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda :“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya.” (HR. Abu Dawud). 
Maksud dari “tergadaikan” adalah jika anaknya diaqiqahi akan terlepas dari gangguan jin sewaktu kecilnya, dihindarkan dari mara bahaya. Ada juga yang mengatakan agar orang tua mendapat syafaat dari anaknya kelak.
Definisi Aqiqah
Menurut bahasa, Aqiqah artinya memotong. Pada dasarnya adalah rambut yang terdapat pada kepala bayi ketika bayi tersebut keluar dari rahim ibunya. Rambut itu dinamakan aqiqah.
Adapun secara istilah aqiqah ialah hewan yang disembelih karena bayi yang dilahirkan. Hewan sembelihan itu dinamakan dengan Aqiqah karena hewan tersebut disembelih pada hari mencukur rambut bayi.
Hukum Melaksanakan Aqiqah
Aqiqah merupakan ibadah sunnah yang dianjurkan. Oleh karena itu seorang ayah hendaklah berusaha untuk mengerjakannya. Imam Ahmad pernah berkata tatkala ditanya oleh putranya, Shalih Bin Ahmad tentang seseorang yang tidak memiliki harta untuk melaksanakan aqiqah. Bolehkan ia berhutang demi melaksanakan tepat pada waktunya atau menunda pelaksanaannya hingga mendapatkan kelonggaran. Maka beliau berkata, “Pertimbanganku yang paling berat adalah sebuah hadits yang aku diriwayatkan oleh Samrah : “Seorang bayi tergadaikan dengan aqiqahnya.” Aku lebih senang jika ia berhutang daripada menunda pelaksanaannya, semoga Allah memudahkan pembayaran hutangnya, karena ia telah berusaha menghidupkan sunnah Rasulullah dan mengikuti apa yang beliau bawa.
Aqiqah Anak Laki-laki dan Perempuan
Aqiqah dilakukan baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan. Perbedaannya hanya terjadi pada Jumlah Hewan Aqiqah, yaitu anak laki-laki dua ekor kambing sedangkan anak perempuan dengan satu ekor kambing. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah : “Anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua ekor kambing dan anak perempuan diaqiqahkan dengan seekor kambing.” (HR. Ahmad)
Mengapa jumlahnya berbeda untuk anak perempuan? Ibnu Qayyim menjawab : “Sudah menjadi kaidah syar’i jika terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena Allah SWT menjadikan wanita setengah dari laki-laki dalam hal warisan, diat (denda), kesaksian, memerdekakan hamba, demikian juga dengan Aqiqah.” Allah SWT berfirman : “Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran : 36).
Yang paling utama adalah mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun jika orang tua tidak mampu mengaqiqahi anaknya dengan dua ekor kambing boleh mengerjakannya dengan satu ekor kambing. Hal ini sebagaimana Sunnah Fi’liyah Rasulullah terhadap kedua cucunya Hasan dan Husain. Aisyah menceritakan : “Dahulu Rasulullah SAW menyembelih aqiqah untuk Hasan dan Husain dengan 2 ekor kambing pada hari ketujuh.” (HR. Baihaqi).
Hewan Aqiqah
Hewan yang boleh digunakan untuk aqiqah sama seperti hewan udhiyyah, yaitu : unta, lembu atau kerbau, kambing, biri-biri dan kibas. Maka tidak sah dengan binatang lain seperti kelinci, ayam atau unggas.
Imam Malik mengatakan kedudukan aqiqah sama dengan udhiyyah. Sebagian salaf membolehkan aqiqah dengan unta dan sapi. Diriwayatkan dari Qotadah bahwa Anas Bin Malik mengaqiqahkan anak-anaknya dengan unta (HR. Thabarani).
Syarat-syarat Hewan Aqiqah
Syarat-syarat hewan aqiqah sama seperti syarat-syarat hewan udhiyyah, yaitu :
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari domba.” (HR. Muslim no. 1963)
Musinnah dari kambing adalah yang telah berusia satu tahun (masuk tahun kedua). Sedangkan musinnah dari sapi adalah yang telah berusia dua tahun (masuk tahun ketiga). Sedangkan unta adalah yang telah genap lima tahun (masuk tahun keenam). Inilah pendapat yang masyhur di kalangan fuqoha. Jadza’ah adalah domba yang telah berusia enam hingga satu tahun.
Siapa yang Utama Melangsungkan Aqiqah
Orang yang paling utama untuk melaksanakan aqiqah bagi anak adalah bapaknya atau orang yang berkewajiban untuk menafkahi anak tersebut. Jika salah seorang dari kerabat seperti kakek, paman dan lain sebagainya ingin mengaqiqahi anak tersebut, hal itu tidak mengapa. Hal ini sesuai dengan keumuman perintah aqiqah dan sabda Rasulullah : “Disembelihkan hewan aqiqah pada hari ketujuh.“ (HR. Abu Dawud).
Ibnu Hajar berkata, dalam hadits tersebut Rasulullah menggunakan kalimat pasif (disembelihkan). Beliau tidak menyebutkan subjeknya, ini menunjukkan tidak ditentukannya siapa yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan aqiqah. Ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Rasulullah mengaqiqah Hasan dan Husain.
Melaksanakan Aqiqah pada Hari Ketujuh
Aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran. Hal ini sesuai dengan fi’iyah yang dikerjakan oleh Rasulullah. Aisyah menyatakan: “Rasulullah menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ketujuh dan member nama keduanya.” (HR. Al-Baihaqi).
Para ulama berbeda pendapat tentang cara penetuan hari ketujuh. Jumhur ulama mengatakan, jika bayi dilahirkan pada hari Senin, maka aqiqah dilakukan pada hari Ahad. Sedangkan Malikiah mengatakan jika bayi dilahirkan Senin, maka aqiqah dilakukan Senin depannya.
Perbedaan pendapat para ulama tentang penentuan hari ketujuh bersumber dari perbedaan cara pandang mereka tentang kapan hari pertama mulai dihitung.
Sebagian mengatakan hari kelahiran dihitung sebagai hari pertama. Namun pendapat yang pertama lebih mendekati kebenaran. Hal ini sesuai dengan zhahir hadits Rasulullah yang mengaqiqahi Hasan dan Husain pada hari ketujuh kelahiran, bukan hari ketujuh setelah kelahiran.
Aqiqah Selain Hari Ketujuh
Waktu yang paling utama untuk melaksanakan aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran. Namun jika orang tua tidak mampu melaksanakan pada hari ketujuh, boleh melakukan pada hari keempat belas. Jika tidak mampu, maka pada hari kedua puluh satu. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad Bin Hambal. Namun jika tidak bisa melaksanakan aqiqah berdasarkan kelipatan yang sesuai dengan yang dinashkan oleh Imam Ahmad, seseorang boleh melaksanakannya kapanpun ia mampu.
Aqiqah Setelah Dewasa
Orang tua boleh melaksanakan aqiqah untuk anaknya walaupun mereka sudah baligh. Hal itu dikarenakan aqiqah merupakan tanggung jawab orang tua dan tidak ada batasan kapan akhir pelaksanaannya. Adapun hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa : “Beliau menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain pada hari ketujuh dan memberi nama keduanya. ” Adalah menunjukkan waktu yang paling utama, bukan pembatasan waktu pelaksanaannya.
Aqiqah untuk Diri Sendiri
Seorang muslim dewasa boleh melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri jika orang tua belum melaksanakan aqiqah untuknya. Hasan Al-Bashri berkata, “Jika engkau belum diaqiqahi maka aqiqahilah dirimu sendiri, sekalipun engkau telah dewasa”.
Imam Ahmad menganggap baik seseorang yang mengaqiqahi diri sendiri setelah dewasa jika semasa kecil ia belum diaqiqahi. Ia berkata, “Jika orang itu melakukannya maka aku tidak mempermasalahkannya.”
Oleh karena itu, jika orang tua tidak mampu melaksanakan aqiqah untuk anaknya hingga usia dewasa, seorang anak boleh melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri.
Mengaqiqahi Bayi yang Meninggal
Bayi yang meninggal sebelum hari ketujuh tetap disunnahkan untuk diaqiqahi. Sebab alasan adanya ibadah aqiqah adalah kelahiran seorang bayi. Artinya jika seorang dikaruniai anak, dianjurkan untuk mengaqiqahinya sekalipun meninggal dunia sebelum sempat diaqiqahi.
Aqiqah untuk Anak Zina
Masyru’iyyah aqiqah tidak hanya bagi anak-anak yang dilahirkan dari ikatan yang halal, tapi juga bagi anak yang terlahir dari hubungan yang haram yaitu hasil zina. Ibnu Hajar berkata disunahkan bagi ibu yang melahirkan anak zina untuk mengaqiqahkan anaknya, namun dengan syarat dilakukan dengan diam-diam agar tidak menimbulkan aib.
Berserikat dalam Aqiqah
Tidak boleh berserikat dalam hal aqiqah. Seperti tujuh orang berserikat untuk menyembelih 1 ekor unta atau sapi untuk aqiqah 7 orang anak, atau ada 7 orang yang hendak menyembelih 1 ekor unta atau sapi dimana sebagian dari mereka menginginkan dagingnya sedangkan yang lainnya ingin menunaikan aqiqah.
Menggabungkan Aqiqah dengan Udhiyyah
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menggabungkan aqiqah dengan udhiyyah. Diantara mereka ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya. Adapun penjelasannya adalah :
Pertama, tidak boleh menggabungkan udhiyyah dengan aqiqah. Inilah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad. Kenapa tidak boleh? Karena aqiqah dan kurban memiliki sebab dan maksud yang berbeda. Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan kurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari Idul Adha.
Kedua, dibolehkan sebagaimana satu pendapat dari Imam Ahmad, ulama Hanafiyah, Hasan Al-Bashri, Muhammad Bin Sirin dan Qotadah. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad Bin Ibrahim. Beliau mengatakan, “Jika kurban dan aqiqah digabungkan, cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi diniatkan kurban untuk dirinya, lalu kurban itu juga diniatkan untuk aqiqah.
Namun pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat pertama. Hal ini dikarenakan ada perbedaan illah dari kedua jenis ibadah tersebut dan kuatnya argumentasi yang pertama.
Penyaluran Aqiqah
Menurut para ulama bahwa penyaluran daging aqiqah sama seperti daging udhiyyah. Yaitu sepertiga untuk disedekahkan, sepertiga untuk dihadiahkan dan sepertiga untuk keluarga. Hanya saja daging aqiqah dibagi dalam keadaan siap saji.
Orang yang paling layak menerima sedekah adalah orang fakir dan miskin dari kalangan umat islam. Begitu juga dengan aqiqah merekalah yang paling layak menerima daging aqiqah.
Mewakilkan Aqiqah
Boleh mewakilkan aqiqah kepada pihak tertentu baik perorangan maupun organisasi. Sebab telah menjadi amalan umat islam bahwa mereka mewakilkan penyembelihan aqiqah kepada pihak-pihak tertentu, seperti yang berlaku di Makkah dimusim haji maupun diluar musim haji.
Mereka mewakilkan kepada imam masjid, tukang sembelih atau lembaga tertentu. Oleh karena itu mewakilkan aqiqah kepada pihak lain yang dipercaya dan amanah adalah sesuatu yang dibenarkan.
Aqiqah di Tempat Lain
Boleh melaksanakan aqiqah di tempat lain atau di luar negeri. Misalnya ada seseorang melaksanakan aqiqah disebuah pondok pesantren atau mewakilkannya kepada pihak tertentu agar aqiqah dilakukan ditengah-tengah pengungsi.
Sayid Al-Bakar menyatakan bahwa sah dan boleh mewakilkan penyembelihan qurban dan aqiqah, dan boleh pula mewakilkan untuk penyembelihannya walaupun orang yang punya di luar negeri.
Sunnah Memasak Daging Aqiqah
Dianjurkan menyerahkan daging aqiqah dalam kondisi sudah dimasak. Hal ini berbeda dengan daging qurban yang diserahkan dalam kondisi mentah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Aisyah menyedekahkan daging aqiqah dalam keadaan sudah dimasak.
Menjual Daging Aqiqah
Menjual sesuatu dari hewan aqiqah akan mengurangi nilai sedekah yang ingin dicapai dalam ibadah tersebut.
Oleh karena itu tidak boleh menjual apa-apa yang menjadi bagian hewan sembelihan aqiqah. Hambali membolehkan menjual kulit hewan aqiqah namun dengan syarat uang hasil penjualan tersebut dimanfaatkan untuk masyarakat awam.
SUMBER :
1. Fiqih Aqiqah An Najah Edisi 119
2. https://rumaysho.com/